Monday, May 30, 2016

Kebudayaan Rote

Anda ingin mengetahui tentang kekayaan pulau Rote yang sesungguhnya dan lebih mendalam?? Pelajari budayanya!!


Selain dikenal akan kekayaan pariwisatanya yang mendunia, pulau Rote juga memiliki berbagai kesenian daerah, salah satunya adalah tari-tariannya yang begitu mengugah dan yang begitu indah dilihat mata. Tari Te’orenda merupakan salah satu di antaranya. Tarian ini menggambarkan wujud ucapan syukur kepada Sang Pencipa dan para leluhur atas hasil panen yang diperoleh masyarakt. Tarian ini selalu diiringi lagu yang penuh semangat dan sukacita atas hasil panen yang berlimpah. Selain tarian, lagu Te’orenda juga dinyanyikan atau disyairkan untuk menyambut para tamu yang berkunjung.
Selain Te’o Renda, ada pula tarian Kakamusu. Tarian ini merupakan tarian perang yang digelar untuk melepas/menyambut tentara yang akan berangkat/pulan dari medan pertempuran. 

Ada pula tarian perang tradisional lannya yakni tarian Teotona yang juga mirip dengan tarian Kakamusu, dimana penarinya terdiri dari pria dan wanita yang menarikan tarian ini. Mereka melakukan gerakannya secara bersamaan. Tarian ini menceritakan tentang peperangan, yang mana ketika perang telah usai dan tiba saatnya bagi para pahlawan perang dari suku Rote Oenale ini untuk pulang kembali ke wilayah mereka, maka yang pertama kali menyambut kedatangan para pahlawan perang. Kegembiraan begitu ekspresif terpancar dari mimik dan gerak para penarinya.
 Seiring berkembangnya waktu, muncul berbagai tari kreasi baru yang juga tidak kalah menariknya di antaranya tarian Modipapapa.
 Begitu pula dengan busana daerah, Rote juga memiliki corak busana yang sangat indah dan menarik dengan perlengkapan aksesoris yang sangat kaya akan nilai budaya.
 Oleh masyarakat Rote, sarung dan selempang dibuat dari tenun ikat dan ditambah dengan beberapa asesoris-asesoris seperti bulak molik, habas, pending (ikat pinggang) dengan dilengkapi topi tradisional ti'i langga. 
 Di pulau Rote terdapat rumah adat atau rumah panggung yang berfungsi sebagai tempat tua-tua adat mengadakan pertemuan-pertemuan adat maupun upacara-upacara suku selain sebagai tempat penyimpanan hasil panen.

   Kain Tenun tradisional pulau Rote memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Timur, termasuk orang Rote-Ndao. Pada masa lampau mereka mengenal adanya pengakuan terhadap kemampuan menenun bagi seorang penenun. Pengakuan tersebut berkaitan dengan layak tidaknya seorang wanita untuk dipinang oleh seorang pemuda.
 Bagi orang Rote-Ndao, kedewasaan seorang wanita tidak saja ditentukan oleh usia semata. Kedewasaan tersebut diukur dari apakah sang gadis sudah dapat mengikat motif, mencelup, dan menenun. Apabila hal tersebut sudah bisa dipenuhi, maka sang gadis sudah pantas mempersiapkan diri menuju kehidupan berumah tangga. Kain tenun dibuat tidak saja untuk memenuhi kebutuhan akan pakaiah, tetapi lebih dari itu, kain tenun memiliki peranan penting dalam setiap aspek kehidupan masyarakat tradisional.
 Dan satu lagi harta kekayaan dari pulau Rote yang sudah sangat terkenal yaitu sasandu. Alat musik tradisional yang sudah lebih terkenal dengan sebutan Sasando ini memiliki bentuk yang sangat unik karena terbuat dari daun lontar dan seruas bambu dengan ukuran panjang 40-45 cm. Pada kedua ujung bambu tersebut dipasang sepotong kayu kecil dan paku-paku halus untuk memasang kawat yang berfungsi sebagai tali atau dawai yang berjumlah 7-11 tali. Sasandu modern (sasando biola elektrik) memiliki lebih banyak dawai yang jumlahnya di atas 40-an dawai.

Sasandu biasanya dimainkan sebagai alat hiburan dalam acara adat misalnya pesta perkawinan, pesta rumah baru, maupun pada acara duka. Konon, sasandu biasanya juga dimainkan oleh seorang pemuda untuk membujuk wanita pujaannya agar dapat menjalin hubungan kasih. Hingga sekarang, alat musik kebanggaan orang Rote ini pun sudah mendunia.

 Semoga bermanfaat!
     
Catatan: sebagian materi diambil dari http://keseniandaerahrote.blogspot.co.id/ 

Asal-usul Nama Pulau Rote



Asal-usul Nama Pulau Rote
 Dalam buku Land Taal & Volkenkunde Van Netherlands Indie (1854) dinyatakan bahwa pada sekitar abad 3 sesudah penduduk mendiami Pulau Rote, di sebelah utara Pulau Rote muncul kapal-kapal Portugis sedang berlabuh dan mereka membutuhkan air minum. Di pantai mereka bertemu seorang nelayan dan bertanya, "Pulau ini bentuknya bagaimana?" Nelayan ini menyangka bahwa mereka menanyakan namanya, sehingga nelayan itu menjawab, "Rote" (Rote is Mijn Naam). Kapten (nakhoda) kapal Portugis ini menyangka bahwa bentuk pulau itu Rote, segera ia menamakan pulau itu Rote. 

Pulau Rote

 Demikian seterusnya pulau ini disebut Rote. Dalam arsip pemerintah Hindia Belanda pulau ini ditulis dengan nama “Rotti atau Rottij“ kemudian menjadi "Roti". Akan tetapi, masyarakat Rote yang mempunyai sembilan dialek seringkali mereka menyebut pulau ini "Lote", khusus bagi mereka yang tidak bisa menyebut huruf "R", padahal nama asli dari pulau ini adalah "Lolo Neo Do Tenu hatu" (gelap) ada juga yang menyebut “Nes Do Male" (layu), dan lainnya menyebut "Lino Do Nes" (pulau yang sunyi dan tidak berpenghuni). Perbedaan dialek itu sebagian besar bersifat fonetis. Dialek-dialek Dengka dan Oenale menyimpang lebih banyak daripada dialek-dialek lainnya.


Sapta Pesona


Orang Pariwisata atau yang suka berwisata wajib baca tulis sederhana di bawah ini ya!!!!! 
Sapta Pesona merupakan 7 (tujuh) unsur pesona yang harus diwujudkan bagi terciptanya lingkungan yang KONDUSIF dan IDEAL bagi berkembangnya kegiatan kepariwisataan di suatu tempat yang mendorong tumbuhnya minat wisatawan untuk berkunjung.
Tujuh unsur tersebut yaitu:
1.      Aman.
2.      Tertib.
3.      Bersih.
4.      Sejuk.
5.      Indah.
6.      Ramah.
7.      Kenangan. 



* * * * *